Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI LAMONGAN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2019/PN Lmg Liem Donni Harianto Talim Kepala Kepolisian Resort Lamongan Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 28 Jan. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2019/PN Lmg
Tanggal Surat Senin, 28 Jan. 2019
Nomor Surat 2
Pemohon
NoNama
1Liem Donni Harianto Talim
Termohon
NoNama
1Kepala Kepolisian Resort Lamongan
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan
  1. Bahwa Pemohon telah dilaporkan kepada Termohon berdasarkan Laporan Polisi tgl 03 Oktober 2018 No LP/247/X/2018/Jatim/Res Lamongan.
  2. Bahwa  Pemohon disangkakan dengan pasal 372 KUHP atas Laporan Simon (Pelapor).
  3. Bahwa status Pemohon masih sebagai Saksi berdasarkan Surat Panggilan No Spgl/372/XI/RES.1.11/2018/Satreskrim tanggal 29 November 2018
  4. Bahwa selanjutnya Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka berdasarkan Surat Ketetapan No S.Tap/20/XII/RES.1.11/2018 tgl 19 Desember 2018, dan dipanggil sebagai Tersangka untuk diperiksa pada tanggal 21 Desember 2019 dengan Surat Panggilan Spg/40/XII/RES.1.11/2018
  5. Bahwa selanjutnya Termohon pada tanggal 20 Desember 2018 mengirimkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada Kejaksaan Negeri Lamongan dengan No B/186/XII/RES 1.11/2018/Satreskrim dengan tembusan kepada Kapolres Lakongan, Direskrimum Polda Jatim dan Ketua Pengadilan Negeri Lamongan. (tanpa tembusan ke Pemohon).
  6. Bahwa selanjutnya Pemohon telah ditahan selama 20 hari terhitung sejak tanggal 02 Januari 2019 hingga 22 Januari 2019, dan karena tidak diperpanjang (vide pasal 24 ayat 1 dan 2 KUHAP maka demi hukum Pemohon haruslah dikeluarkan dari tahanan tgl 28 Januari 2019.(vide pasal 24 ayat 4 KUHAP.
  7. Bahwa faktanya hingga diajukannya Pra peradilkan ini Pemohon tidak pernah menerima surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dari Termohon hingga saat permohonan ini diajukan dan merasa dirugikan hak konstitusionalnya.
  8. Bahwa Pemohon berkeberatan atas penetapan status tersangka tersebut karena tidak didasari oleh ketentuan dan prosedur hukum yang berlaku sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi terbaru tgl 11 Januari 2017 melalui Putusan No 130/PUU-XIII/2015, yaitu tidak adanya pemberitahuan SPDP sebelum proses ditetapkan sebagai Tersangka.
  9. Bahwa dengan keputusan Mahkamah Konstitusi terbaru tgl 11 Januari 2017 melalui Putusan No 130/PUU-XIII/2015 menyatakan Pasal 109 ayat (1) UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dipandang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
  10. Bahwa Pasal 109 ayat KUHAP sebelumnya berbunyi Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.”.
  11. Bahwa Mahkamah Konstitusi menyatakan penyampaian Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) tidak hanya diwajibkan terhadap jaksa penuntut umum akan tetapi juga terhadap terlapor dan korban/pelapor dengan waktu paling lambat 7 (tujuh) hari dipandang cukup bagi penyidik untuk mempersiapkan/menyelesaikan hal tersebut.
  12. Bahwa dengan demikian implikasinya bagi Termohon sebagai "penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor dalam waktu paling lambat 7(tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan".
  13. Bahwa fakta hukum yang ada menunjukan Pemohon saat menjadi Terlapor atau saksi tidak pernah menerima SPDP dari Termohon, bahkan setelah ditetapkan sebagai Tersangka dan ditahan 20 hari juga tidak pernah menerima pemberitahuan atau tembusan SPDP dimaksud.
  14. Bahwa berkaitan dengan putusan di atas, pendapat hukum  Ricky Perdana Waruwu, SH,MH, Hakim Yustisial MARI menyatakan Mahkamah Konstitusi memberi penafsiran sebab akibat dari norma yang terkandung dalam ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP berupa "apabila tidak dilakukan pemberitahuan kepada penuntut umum, maka penyidikan harus dianggap batal demi hukum". (Praperadilan pasca 4 Putusan MK, -Artikel Kepaniteraan Mahkamah Agung 08 Agustus 2017)
  15. Bahwa lebih lanjut menurut Ricky Perdana Waruwu, SH putusan MK ini memberikan ruang bagi tersangka melakukan praperadilan apabila pada saat berstatus sebagai terlapor belum menerima SPDP atau lewatnya waktu7 (tujuh) hari penyerahan SPDP kepada terlapor saat itu.
  16. Bahwa selanjutnya acuan yang dipakai adalah adanya prinsip due process of law yang berisi prinsip bahwa semua prosedur hukum harus didasarkan pada perlindungan dan penegakan hak  asasi dan konstitusional termasuk hak untuk mendapatkan informasi  secara fair (The conduct of legal proceedings according to established rules and principles for the protection and enforcement of privat right, including notice and the right to a fair hearing beforing a tribunal with the power to decide the case (Black’s law dictionary).
  17. Bahwa alasan MK didasarkan pada pertimbangan bahwa terhadap terlapor yang telah mendapatkan SPDP, maka yang bersangkutan dapat mempersiapkan bahan-bahan pembelaan dan juga dapat menunjuk penasihat hukum yang akan mendampinginya, sedangkan bagi korban/pelapor dapat dijadikan momentum untuk mempersiapkan keterangan atau bukti yang diperlukan dalam pengembangan penyidikan atas laporannya.
  18. Bahwa selanjutnya menurut Reda Manthovani, dosen Universitas Pancasila dalam tulisannya “Putusan Fenomenal MK, tambah lagi 1 obyek Praperadilan dalam detik.com tgl; 12 Januari 2017 menyebutkan SPDP tidak dianggap sebagai bentuk kelengkapan administrasi belaka melainkan dianggap sebagai implementasi prinsip check and balance antara penyidik dengan penuntut umum, terlapor, korban/pelapor. Apabila hal tersebut tidak dilakukan maka dianggap telah terjadi cacat prosedural dalam tahapan penyidikan karena dipandang penyidikan yang dilakukan tidak transparan dan tanpa adanya pengawasan.
  19. Bahwa selanjutnya menurut beliau, cacatnya prosedural dalam penyidikan mengakibatkan segala proses yang dilakukan pada tahap penyidikan sebelum disampaikannya SPDP adalah bersifat unlawfull dan berimplikasi pada segala tindakan yang telah dilakukan dalam tahapan penyidikan harus dinyatakan batal demi hukum.
  20. Bahwa dengan demikian pengiriman SPDP oleh penyidik kepada penuntut umum, terlapor dan korban/pelapor telah memperluas atau menambah objek praperadilan
  21. Bahwa pemberitahuan dimulainya suatu proses hukum dalam bentuk SPDP merupakan hak konstitusional Pemohon yang dijamin pelaksanaannya oleh aparatur hukum sehingga SPDP sebagai bagian dari prosedur hukum perlu dipastikan pelaksanaannya.
  22. Bahwa tindakan Termohon yang tidak mengirimkan/memberitahukan SPDP dalam waktu 7 hari sejak dikirimkan kepada Kejaksaan Negeri Lamongan tanggal 20 Desember 2018 pada Pemohon adalah melanggar ketentuan pasal 109 ayat 1 KUHAP jo pasal 25 ayat 1 Peraturan Kapolri No 14/2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana yang merugikan dan melanggar hukum hak Pemohon.
  23. Bahwa tujuan dari praperadilan dapat diketahui dari penjelasan Pasal 80 KUHAP yang menegaskan “bahwa tujuan dari pada praperadilan adalah untuk menegakkan hukum, keadilan, kebenaran melalui sarana pengawasan horizontal.”
  24. Bahwa Esensi dari praperadilan, untuk mengawasi tindakan upaya paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum terhadap tersangka, supaya tindakan itu benar-benar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-undang, benar-benar proporsional dengan ketentuan hukum, bukan merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum.

Bahwa berdasarkan hal diatas tindakan Termohon dengan menetapkan  pemohon sebagai Tersangka dengan tidak mengirimkan SPDP pada Termohon adalah tidak sah menurut hukum karena telah melangar ketentuan hukum di pasal 109 ayat 1 KUHAP serta ketentuan hukum lainnya dan haruslah dibatalkan.

Pihak Dipublikasikan Ya